Minggu, 26 Februari 2012

Menembus Jakarta Bandung



Beberapa bulan silam, saya pernah menyambangi dan menuliskan sebuah pameran yang mengetengahkan sepuluh seniman muda yang bertajuk “Jakarta-Bandung Pulang Pergi”. Kisahan para perupa tersebut lalu saya kiaskan dalam metafor tentang kesibukan dan perhentian untuk menarik nafas. Perjalanan Jakarta Bandung memang menawarkan sensasi beragam bagi para pelakonnya. Acapkali ia dihadirkan pula dengan bumbu drama ala layar lebar di dalamnya. Suguhan perjalanan yang satu ini memang cukup dahsyat, berbeda dengan perjalanan menyusuri kota-kota lain. Ia menyajikan romansa dengan sentuhan yang terkadang teramat personal. Kegundahan, umpatan, kebosanan, harapan, sampai melankolitas.

Jika harus memilih, harapan dan melankolitas adalah sebuah sisi dimana saya berdiri tiap-tiap melakukan perjalanan menembus Cipularang. Pengharapan terhadap sesuatu yang diinginkan, melankolitas dalam mengejar sesuatu tersebut. Ya, bukankah menjadi melankolis ketika dalam perjalanan kita lalu duduk bersisian dengan manusia-manusia baru dalam hidup. Bertegur sapa layaknya kawan lama untuk kemudian hanya dalam waktu tak lebih dari tiga jam masing-masing meneruskan kembali langkahnya tanpa perlu lagi mengingat-ngingat sang kawan baru di kemudian hari.

Ah, saya jadi terlalu jauh melantur. Kembali lagi pada perjalanan Jakarta Bandung. Perjalanan tiga jam lamanya itu adalah salah satu perjalanan paling memabukkan yang ada di muka bumi. Banyak kemungkinan yang bisa menjadi alasan di belakangnya. Pergi ke metropolitan hanya untuk sekadar menancapkan eksistensi humanis saja dan berlari ke Bandung sebagai pelarian sekejap semata dan sebaliknya atau justru tak sesederhana itu.

Dalam kesadaran paling realistis, berbicara mengenai Jakarta-Bandung adalah berbicara mengenai tujuan: menuju kemana? Siapa yang dituju? Pada akhirnya, perjalanan dan harapan memang harus berjalan beringinan. Bagi saya, perjalanan tersebut merupakan kepingan mimpi yang harus disusun demi sang harapan. Ini bukan sekadar menjalani hidup, lebih dari itu, perjalanan Jakarta Bandung adalah harapan itu sendiri. Lalu, pertanyaan paling tendensius sekaligus krusial muncul begitu saja. Siapa yang dituju? Pun saya akan menjawabnya dengan tendensius dan krusial pula: Kamu.
Selamat menembus Jakarta Bandung kawan-kawan.



written by nunu
drawing by devita

2 komentar: