Langit
dengan semburat biru yang berhasil memecah gerombolan awan selalu menciptakan
terik yang menusuk kulit. Fatamorgana meliuk bebas di seluruh ruang pandangan
mata, bergelimang pada tiap aspal jalanan yang dipenuhi keringat. Aku menjadi
bagian dari segala kekisruhan. Apa daya, hanya ada dua kemungkinan: terus
melaju atau menepi sejenak. Ingin rasanya mampir ke warung kopi. Namun, demi
mengingat kegarangan matahari, meneguk kafein adalah absurditas yang tak bisa
ditolerir. Pilihan lalu jatuh pada pelataran sebuah masjid yang terlihat begitu
sejuk. Riak angin mungkin tak terasa, tapi atapnya yang kokoh perkasa seolah
menjelma menjadi sayap malaikat yang mencangkung damai. Punggung yang lelah
lalu bersandar di pojok pintu sebelah tempat air minum.
Baru
sekitar beberapa menit terduduk, segerombol bocah berebut mengambil air minum.
Tak lama, lelaki paruh baya sedikit lusuh mengeluarkan botol mineral kosong dan
mengisinya sampai penuh. Lehernya bergerak-gerak lega saat aliran air berjalan
lembut di kerongkongan. Aku tak ambil pusing, belum ambil pusing tepatnya.
Tangan dengan lincah mengisi waktu dengan berselancar di jejaring sosial.
Seorang kawan membuat postingan cukup menarik. Foto band paling keren,
tulisnya. Tentu semua yang disampaikan serba berkebalikan. Foto para muda-mudi
yang jauh dari nilai estetis terpampang. Pada salah satu foto, terpampang
alamat blog dari salah satu band yang tengah tereksploitasi tersebut. Dalam
senyum, iseng kubuka tautan tersebut. Entah bagaimana bisa, tahu-tahu rasa
penasaran membuatku bertindak lebih jauh. Kudengarkan lagu mereka, tak terlalu
buruk meski banyak kurang di sana-sini. Laman Facebook para personel dengan
super iseng tak luput dari pencarian. Sebagian berkuliah dan menetap di
Surabaya. Foto-foto gembira, keceriaan di tempat antah-berantah.
“
Ini untuk air yang dingin mana, ya?” Seorang kakek tiba-tiba bertanya, “ ini,
ya?” Ia jawab sendiri pertanyaan itu sambil menunjuk tombol berwarna biru.
Sedikit
terkaget aku mengangguk. Ia tersenyum. Air berpindah ke botol kusam di
tangannya. Wajahnya lelah namun sumringah. Siapa dia? Aku tak tahu. Mungkin
kuli pengangkut sampah atau tukang parkir ilegal. Kuikuti langkah kakinya
sampai ia menghilang di balik pagar. Sungguh mati tiba-tiba aku penasaran
seperti halnya dengan band dengan foto nan seadanya tadi. Kuamati sekitar, ada
yang tengah bercengkrama, ada yang asyik membaca, ada bapak dan anak yang
menunggu sore. Lalu aku ingat pada gerombolan bocah, pada lelaki lusuh dengan
leher yang bergerak-gerak. Siapa mereka? Wajah berseri pada foto di jejaring
sosial menampar. Betapa kita gemar mengamati siapa pun dan seringkali latah menjadikannya
objek yang kadung telah diberi stempel buruk dengan tinta pekat. Bocah-bocah
nakal, kuli sampah, tukang parkir menyebalkan, pemusik gagal, dan sederet
stigma yang dilahirkan prematur. Sontak aku tersadar, tiap pertemuan adalah
pula sebuah perkenalan. Bukankah seharusnya berbagi pandang atau percakapan
adalah tentang menebak-nebak bagaimana hidup berlangsung dan belajar mengagumi
sisi menakjubkan dari manusia-manusia di sekitar kita? Bukankah manusia tak hanya mengakrabi buruk? Bukankah buruk selalu berdiri sejajar dengan baik? Cangkung sayap malaikat makin mesra memberi
teduh. Aku belajar memilih sisi.