Sabtu, 22 Desember 2012

Melankolia Bahagia

Aku seringkali berpapasan dengannya. Nyaris semua rambut di kepalanya telah memutih. Badannya mungil namun tambun. Di tangannya, tumpukan koran pagi menggunung seperti rayap yang sedang bersuka cita menggerogoti kayu mahoni. Setua itu masih harus menjelajah trotoar-trotoar sempit. Beberapa pasang mata yang tengah terlalu rumit dengan harinya memilih tak peduli, sedang beberapa mata lainnya menjatuhkan iba. 

Aku lebih senang mengamati mata sang lelaki tua. Ketika ia menawarkan dengan ramah koran di tangannya, ada binar yang sulit dicari tandingannya meski mungkin hanya seribu rupiah saja yang akan memasuki tas kecil usang yang terselempang di bahunya. Aku membaca, mata itu bukanlah mata yang meminta iba. Dalam sorot yang dimilikinya, lahir kebahagiaan. Ia kemudian seakan memekik kencang di telinga; kamu bahagia dengan hidupmu?

Ia telah dengan gemilang menggugat pemahamanku tentang bahagia. Gerak-geriknya itu mencurahkan kebahagiaan dengan segala kemampuan yang membebat di jiwanya, meski mungkin bahagia itu mampir dalam keterbatasannya merangkum mimpi. Mungkin, baginya bahagia itu seringan dan sesederhana memapas jalanan dengan telapak kakinya yang berdebu. Tubuhnya yang telah menua dan sedikit membungkuk itu tidak menghalangi langkah untuk semakin bergegas melaju. Kepada setiap manusia yang menatapnya tanpa berkedip, ia lontarkan berbaris-baris senyum menyejukkan. Aku kini tahu, ia bahagia karena bersahabat dengan perjalanan yang dilaluinya. Pun jalanan itu bersahabat pula dengan sang lelaki tua. Aku menjabar langkah. Pada jalan yang kulalui telah pula timbul persahabatan. Tepat di tengah-tengahnya, kurangkumkan mimpi terbesarku; Menjadi diriku sendiri. 






Di sengkarut langkah kaki, pada pojok halte, di keramaian kedai kopi, pada sudut gedung bertingkat, di kericuhan hari-harimu, ceritakan padaku apakah kamu merangkum mimpi sambil tak lupa pada diri sendiri. Kawan, ceritakan padaku tentang jalan yang melintang di hidupmu. Sudahkah kamu bersahabat dengannya?   



written by Nugraha Sugiarta (Nunu)
drawing by Amelia Devita (Devita)





28 komentar:

  1. Bahagia itu tergantung diri kita
    mengijinkannya atau tidak
    bukan materi bukan pula kuasa

    BalasHapus
  2. bahagia itu indah...*kata teman sy :)

    BalasHapus
  3. bahagia itu mensyukuri yang telah ada :)

    BalasHapus
  4. bersahabat dengan jalan yang melintang di depan? harus dilakukan, kejar tundukkan, lalu ungkap persahabatan. maka jalan di depan tak lagi terjal.

    BalasHapus
  5. jika hidup adalah sebuah pilihan, lalu kenapa kita mesti tidak tersenyum untuk pilihan itu? Lalu kenapa bisa dikatakan jalan melintang jika kita telah memilih satu diantara ribuan atau jutaan pilihan dalam hidup ini?

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehe pertanyaanny kan adl apakah sudah memilih jln yg bener2 kita pengen. kalau sudah, apakah kita sudah yakin dngn jalan itu. kalau sudah yakin apakah kita sudah bersahabat dngn jln itu. klo udh ya goodddd hohoho

      Hapus
  6. aww so sweet banget sih :''') saya yg jomblo jd pengen cepet2 punya pacar :'''''''')
    yeah bahagia itu aneh, aneh kenapa bahagia org itu beda2, tapi bahagia itu simpel, bahagia ya bahagia :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. ahiww.. cowo2 yg baca komen ini pasti lgs pd ngantri deh, qiqiqiiqiq :p

      Hapus
    2. haha amin amiin amiiin *ngenesbanget :P

      Hapus
  7. tinggal kita print, di jilid. jadi buku deh :p

    BalasHapus
    Balasan
    1. ho ho... tunggu tanggal mainnya ya.. buku kita akan segera terbit.. XD

      Hapus
  8. Bahagia itu pilihan...hehe

    BalasHapus
  9. wah...fiksi yang keren sekaliii...
    aku selalu minder an sama yang jago bikin fiksi deh...hiks...

    keep writing :)

    BalasHapus
  10. Kalau menurut saya bahagia itu ada karena kita bersyukur.

    BalasHapus
    Balasan
    1. betulll banget... apapun yg terjadi sama kita wajib di syukuri ya :)

      Hapus
  11. Nu, kamu emang jago banget dalam bermain kata.

    keren euy ... :)

    BalasHapus